Selasa, 30 Juni 2009

Perbankan Syariah Melangkah Lebih Pasti Di 2009

Perjalanan panjang kaum profesional Muslim untuk memperjuangkan legalitas ekonomi syariah di bumi Indonesia akhirnya mulai mewujud pada tahun 2008 dengan lahirnya UU Perbankan Syariah, yang bersamaan UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

Bagi para pemangku kepentingan perbankan syariah, tahun 2008 menjadi tonggak penting setelah selama ini aspek yuridis operasional perbankan nonribawi di negeri yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini hanya menumpang pada hukum positif perbankan konvensional.

Saat awal kaum profesional Muslim ingin menjalankan bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil, azas hukumnya pada UU Perbankan No.10 tahun 1992. Namun itu belum cukup, karena perbankan syariah tersendat jalannya dan terbukti dalam enam tahun pertama kemudian hanya satu bank syariah yang muncul yakni Bank Muamalat pada 1992.

Perjuangan berlanjut lagi, yang kemudian timbul amandemen UU sebelumnya, yang melahirkan UU No. 7 Tahun 1998 yang memuat ketentuan lebih rinci di dalamnya tentang perbankan syariah.

UU ini cukup memberi payung kondusif di saat perkembangan awal, terbukti cabang-cabang Bank Muamalat mulai dibuka di berbagai kota. Juga lahirnya bank-bank syariah baru atau unit syariah pada bank umum, serta di tingkat mikro ada Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Maal Wa Taamwil (BMT).

Kini setelah DPR melalui rapat paripurna di Jakarta, Selasa (17 Juni 2008), menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perbankan Syariah menjadi UU, dan sebulan kemudian pada 16 Juli 2008 pemerintah mengundangkan UU itu di lembaran negara, payung hukum bisnis pembiayaan nonribawi di Indonesia melangkah ke depan lebih pasti.

Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN), Adiwarman A. Karim mengungkapkan, paling tidak terdapat enam hal baru dalam UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

“Enam hal itu adalah otoritas fatwa dan komite perbankan syariah, pembinaan dan pengawasan syariah, pemilihan dewan pengawas syariah (DPS), masalah pajak, penyelesaian sengketa, dan konversi unit usaha syariah (UUS) menjadi bank umum syariah (BUS),” kata Adiwarman saat sosialisasi UU tentang Perbankan Syariah.

Ia menjelaskan, kegiatan usaha bank syariah harus tunduk kepada prinsip syariah yang difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Dalam rangka penyusunan PBI, BI membentuk Komite Perbankan Syariah yang beranggotakan unsur-unsur dari BI, Departemen Agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi berimbang dengan jumlah maksimum 11 orang.

Untuk pembinaan dan pengawasan bank syariah dan UUS terdapat pemilihan antara aspek teknis perbankan dan aspek kepatuhan pada prinsip syariah. Dari sisi teknis perbankan pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh BI, sementara kepatuhan terhadap prinsip syariah dilakukan oleh MUI yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang diangkat oleh rapat umum pemegang saham (RUPS) atas rekomendasi MUI.

Mengenai masalah pajak berganda, mekanisme penyaluran barang dari bank syariah kepada nasabah yang membutuhkan hanya dapat dilakukan melalui sistem pembiayaan, bukan melalui sistem jual beli, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran lagi terhadap adanya kemungkinan pengenaan pajak ganda atas setiap transaksi barang antara bank syariah dengan nasabah.

Sementara itu aturan penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. “Ini tidak mencabut kewenangan penyelesaian sengketa di peradilan umum, karena jika para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain di peradilan agama, maka penyelesaian dilakukan sesuai perjanjian,” kata Adiwarman.

Hal baru lain dalam UU Perbankan Syariah adalah konversi UUS menjadi BUS yang menetapkan bank umum konvensional yang memiliki UUS yang nilai asetnya mencapai paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya, atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah, maka bank umum konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS itu menjadi bank umum syariah.

Tantangan Krisis

Meski UU Perbankan Syariah telah eksis, tantangan bank nonribawi di tengah kepungan bank konvensional masih membentang. Perkembangan sistem finansial syariah yang pesat boleh jadi sedang mendapat ujian untuk benar-benar bisa membuktikan sebagai sistem alternatif, atas sistem perbankan kapitalisme yang saat ini terimbas krisis keuangan global.

Aktivitas perbankan syariah di Indonesia yang hampir seluruh pembiayaannya masih diarahkan kepada sektor bisnis riil di perekonomian domestik dan tidak memiliki tingkat integrasi tinggi dengan sistem keuangan global yang ribawi, menjadi faktor yang “menyelamatkan” bank syariah dari imbas langsung dampak krisis.

Secara substansial pun, yang “menyelamatkan” perbankan syariah adalah perbedaan operasional dengan perbankan konvensional, di mana dalam sistem keuangan Islam melarang pinjaman dengan beban bunga, yang dipandang sebagai riba, serta sistem syariah ini melarang spekulasi derivatif. Sebagai gantinya, pembiayaan harus pada sektor riil, serta faktor risiko dan keuntungan ditanggung bersama antara bank dan nasabah.

Oleh karena itu kalau operasional perbankan syariah di tanah air hingga kini tetap tenang menjalankan bisnisnya adalah hal wajar. Bahkan, dari hasil analisis yang dikutip dari Outlook Perbankan Syariah 2009, yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, kinerja pertumbuhan pembiayaan bank syariah tetap tinggi sampai akhir tahun 2008 dengan kinerja pembiayaan yang baik.

Penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah selama tahun 2008 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 17,6 persen dari triwulan ketiga tahun 2007 atau menjadi 42,9 persen pada triwulan ketiga tahun 2008.

Adapun nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah telah mencapai Rp37,7 triliun.

Selama tahun 2008 jaringan pelayanan bank syariah mengalami penambahan sebanyak 130 kantor cabang. Sehingga saat ini sudah ada 1.440 kantor cabang bank konvensional yang memiliki layanan syariah.

Secara geografis, penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat di lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) bertambah, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima BUS.

Prospek 2009

Perbankan syariah nasional menapaki tahun 2009 diperkirakan tetap dalam fase pertumbuhan tinggi, yang didasarkan aspek yuridis UU Perbankan Syariah membuat kepastian hukum dan mendorong peningkatan implementasi kapasitas usaha bisnis syariah. Juga, UU SBSN menjadi penguat kinerja sistem keuangan Islami itu.

Kemudian adanya amandemen UU Perpajakan memberi kepastian hukum dalam mendorong peningkatan kapasitas bank-bank syariah melalui penarikan peran investor asing.

Di lapangan, bakal terealisasi konversi beberapa UUS (Unit Usaha Syariah) menjadi BUS (Bank Umum Syariah). Paling tidak pada tahun 2009 ditargetkan ada 9 bank umum syariah baru, yang diperkirakan enam dari bank domestik, yaitu Bukopin Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, Bank Victoria Syariah dan Bank Panin Syariah dan Bank NISP Syariah, serta tiga lainnya berasal dari investor Timur Tengah, baik didirikan dengan cara merger bank lokal atau mandiri.

Demikian pula akan terjadi realisasi penerbitan Corporate Sukuk oleh bank syariah untuk memperkuat modal dasar perbankan syariah.

“Yang tak kalah penting, meningkatnya pemahaman masyarakat dan preferensi untuk menggunakan produk dan jasa bank syariah. Demikian pula perbankan syariah dinilai sebagai bank universal. Bukan bank semata-mata untuk orang Islam,” kata Deputi Gubernur BI Siti Fadjriah.

Namun bagi kalangan bankir syariah, untuk mendukung perkembangan pesat pembiayaan nonribawi itu perlu instrumen operasi moneter syariah terus dilengkapi, karena operasi moneter syariah (OMS) yang baru saja diatur oleh Bank Indonesia (BI) belum maksimal.

Menurut Direktur Utama Bank Mega Syariah (BMS) Beny Witjaksono, instrumen operasi moneter syariah masih belum lengkap karena saat ini yang ada baru repo surat berharga syariah negara (SBSN). Sedangkan untuk “fine tuning expansion”, “fine tuning contraction” dan fasilitas lelang penyerapan dana Bank Indonesia (Fasbi) belum ada.

Tugas BI dalam menyempurnakan sitem keuangan syariah memang harus terus ditingkatkan seiring berkembang pesatnya transaksi keuangan syariah. Deputi Gubernur BI Siti Fadjriah sendiri pernah menyatakan Bank Indonesia (BI) berketetapan merumuskan strategi besar pengembangan pasar syariah, sehingga pangsa lima persen dibandingkan bank konvensional lebih cepat tercapai dari saat ini sekitar 2,2 persen.

Pada akhirnya dengan rel jelas yang mengacu UU Perbankan Syariah, harapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta pengelola perbankan syariah nasional bisa menjadi pemain domestik yang andal dan memiliki kualitas layanan dan kinerja bertaraf internasional, bukan sesuatu yang mustahil.

Dengan demikian, ke depannya, mengutip ucapan Presiden,”….semua pelaku ekonomi syariah dapat menjadikan perbankan syariah nasional sebagai platform pusat ekonomi syariah di Asia, bahkan Insya Allah di dunia. ( ant/ Zaenal Abidin )

0 komentar:

Posting Komentar

Cheepa Zone's © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute