Selasa, 30 Juni 2009

Ganjalan Bank Syariah

Sangat menarik untuk menelaah kendala pengembangan bank syariah di Indonesia dari hasil seminar akhir tahun perbankan syariah 2007 beberapa waktu lalu. Seminar tersebut menyebutkan bahwa perbankan syariah belum memahami kebutuhan riil nasabah dan masih mengalami masalah kualitas sumber daya manusia (Republika, 28 Nopember 2007).
Hasil survei bank syariah yang dilakukan Bank Indonesia tahun 2000 lalu maupun berbagai penelitian berkelanjutan di level akademik menyebutkan bahwa hampir semua lapisan masyarakat telah mengakui eksistensi bank syariah. Kenyataan ini memberikan pesan bahwa sosialisasi dan edukasi perbankan syariah ke depan bukan lagi untuk memperkenalkan eksistensi bank syariah, namun harus menjelaskan nilai tambah yang ditawarkan oleh bank syariah (Joseph A Divanna, 2007) sehingga mengundang minat masyarakat.
Di tengah tingginya persaingan perbankan dan realitas dua tipe nasabah bank syariah (nasabah rasional dan loyalitas), upaya pengembangan, sosialisasi dan edukasi bank syariah sejatinya memerlukan kontribusi semua pihak. Pemerintah dan Bank Indonesia berperan di sisi regulasi untuk menciptakan industri perbankan syariah yang prudent, sharia compatible, dan mengembangkan pasar keuangan syariah. Pengesahan UU Bank Syariah, UU Sukuk, dan regulasi terkait merupakan kontribusi utama pemerintah dan para wakil rakyat yang sangat menentukan masa depan sistem perbankan syariah.
Sementara itu, tuntutan information technology (IT), online system, dan sebagainya banyak diupayakan bank-bank syariah di belahan dunia lain melalui kerja sama operasional baik sesama bank syariah maupun antara unit usaha syariah dari multinational bank dengan perusahaan induknya. Kendala lain yang membuat bank syariah kurang memahami nasabahnya antara lain kekhawatiran gagal bayar (default), infeasible financing proposal, high risk financing (bagi nasabah pengusaha), dan kurangnya variasi produk, promosi produk, fleksibilitas produk.
Sementara itu, kerja sama antara Dewan Syariah Nasional (DSN), Bank Indonesia, lembaga kajian perbankan syariah dan perbankan syariah sendiri akan berkontribusi dalam melihat kemungkinan pengembangan instrumen (produk) bank syariah. Proses financial engineering yang sedang dan terus dilakukan berbagai bank syariah dunia dapat menjadi salah satu rujukan terkait dengan hal tersebut.
Usaha tersebut akan berfungsi ganda sebagai edukasi perbankan syariah di berbagai level pendidikan maupun promosi dan sosialisasi keunggulan bank syariah dibandingkan bank konvensional. Kerja sama pemerintah dan para ulama untuk menyampaikan pesan sistem ekonomi berdasarkan nilai-nilai Islam hendaknya terus dilakukan. Untuk menjembatani kesenjangan para ulama dan ilmu ekonomi Islam, dilakukan pelatihan dan pendidikan ekonomi/perbankan Islam kepada para ulama dan di sisi lain para ekonom Islam dan Islamic bankers diharapkan juga terjun menjadi tenaga pendidik di berbagai institusi pendidikan syariah.

Daftar Pustaka

Perbankan Syariah Melangkah Lebih Pasti Di 2009

Perjalanan panjang kaum profesional Muslim untuk memperjuangkan legalitas ekonomi syariah di bumi Indonesia akhirnya mulai mewujud pada tahun 2008 dengan lahirnya UU Perbankan Syariah, yang bersamaan UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

Bagi para pemangku kepentingan perbankan syariah, tahun 2008 menjadi tonggak penting setelah selama ini aspek yuridis operasional perbankan nonribawi di negeri yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini hanya menumpang pada hukum positif perbankan konvensional.

Saat awal kaum profesional Muslim ingin menjalankan bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil, azas hukumnya pada UU Perbankan No.10 tahun 1992. Namun itu belum cukup, karena perbankan syariah tersendat jalannya dan terbukti dalam enam tahun pertama kemudian hanya satu bank syariah yang muncul yakni Bank Muamalat pada 1992.

Perjuangan berlanjut lagi, yang kemudian timbul amandemen UU sebelumnya, yang melahirkan UU No. 7 Tahun 1998 yang memuat ketentuan lebih rinci di dalamnya tentang perbankan syariah.

UU ini cukup memberi payung kondusif di saat perkembangan awal, terbukti cabang-cabang Bank Muamalat mulai dibuka di berbagai kota. Juga lahirnya bank-bank syariah baru atau unit syariah pada bank umum, serta di tingkat mikro ada Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Maal Wa Taamwil (BMT).

Kini setelah DPR melalui rapat paripurna di Jakarta, Selasa (17 Juni 2008), menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perbankan Syariah menjadi UU, dan sebulan kemudian pada 16 Juli 2008 pemerintah mengundangkan UU itu di lembaran negara, payung hukum bisnis pembiayaan nonribawi di Indonesia melangkah ke depan lebih pasti.

Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN), Adiwarman A. Karim mengungkapkan, paling tidak terdapat enam hal baru dalam UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

“Enam hal itu adalah otoritas fatwa dan komite perbankan syariah, pembinaan dan pengawasan syariah, pemilihan dewan pengawas syariah (DPS), masalah pajak, penyelesaian sengketa, dan konversi unit usaha syariah (UUS) menjadi bank umum syariah (BUS),” kata Adiwarman saat sosialisasi UU tentang Perbankan Syariah.

Ia menjelaskan, kegiatan usaha bank syariah harus tunduk kepada prinsip syariah yang difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Dalam rangka penyusunan PBI, BI membentuk Komite Perbankan Syariah yang beranggotakan unsur-unsur dari BI, Departemen Agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi berimbang dengan jumlah maksimum 11 orang.

Untuk pembinaan dan pengawasan bank syariah dan UUS terdapat pemilihan antara aspek teknis perbankan dan aspek kepatuhan pada prinsip syariah. Dari sisi teknis perbankan pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh BI, sementara kepatuhan terhadap prinsip syariah dilakukan oleh MUI yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang diangkat oleh rapat umum pemegang saham (RUPS) atas rekomendasi MUI.

Mengenai masalah pajak berganda, mekanisme penyaluran barang dari bank syariah kepada nasabah yang membutuhkan hanya dapat dilakukan melalui sistem pembiayaan, bukan melalui sistem jual beli, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran lagi terhadap adanya kemungkinan pengenaan pajak ganda atas setiap transaksi barang antara bank syariah dengan nasabah.

Sementara itu aturan penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. “Ini tidak mencabut kewenangan penyelesaian sengketa di peradilan umum, karena jika para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain di peradilan agama, maka penyelesaian dilakukan sesuai perjanjian,” kata Adiwarman.

Hal baru lain dalam UU Perbankan Syariah adalah konversi UUS menjadi BUS yang menetapkan bank umum konvensional yang memiliki UUS yang nilai asetnya mencapai paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya, atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah, maka bank umum konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS itu menjadi bank umum syariah.

Tantangan Krisis

Meski UU Perbankan Syariah telah eksis, tantangan bank nonribawi di tengah kepungan bank konvensional masih membentang. Perkembangan sistem finansial syariah yang pesat boleh jadi sedang mendapat ujian untuk benar-benar bisa membuktikan sebagai sistem alternatif, atas sistem perbankan kapitalisme yang saat ini terimbas krisis keuangan global.

Aktivitas perbankan syariah di Indonesia yang hampir seluruh pembiayaannya masih diarahkan kepada sektor bisnis riil di perekonomian domestik dan tidak memiliki tingkat integrasi tinggi dengan sistem keuangan global yang ribawi, menjadi faktor yang “menyelamatkan” bank syariah dari imbas langsung dampak krisis.

Secara substansial pun, yang “menyelamatkan” perbankan syariah adalah perbedaan operasional dengan perbankan konvensional, di mana dalam sistem keuangan Islam melarang pinjaman dengan beban bunga, yang dipandang sebagai riba, serta sistem syariah ini melarang spekulasi derivatif. Sebagai gantinya, pembiayaan harus pada sektor riil, serta faktor risiko dan keuntungan ditanggung bersama antara bank dan nasabah.

Oleh karena itu kalau operasional perbankan syariah di tanah air hingga kini tetap tenang menjalankan bisnisnya adalah hal wajar. Bahkan, dari hasil analisis yang dikutip dari Outlook Perbankan Syariah 2009, yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, kinerja pertumbuhan pembiayaan bank syariah tetap tinggi sampai akhir tahun 2008 dengan kinerja pembiayaan yang baik.

Penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah selama tahun 2008 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 17,6 persen dari triwulan ketiga tahun 2007 atau menjadi 42,9 persen pada triwulan ketiga tahun 2008.

Adapun nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah telah mencapai Rp37,7 triliun.

Selama tahun 2008 jaringan pelayanan bank syariah mengalami penambahan sebanyak 130 kantor cabang. Sehingga saat ini sudah ada 1.440 kantor cabang bank konvensional yang memiliki layanan syariah.

Secara geografis, penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat di lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) bertambah, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima BUS.

Prospek 2009

Perbankan syariah nasional menapaki tahun 2009 diperkirakan tetap dalam fase pertumbuhan tinggi, yang didasarkan aspek yuridis UU Perbankan Syariah membuat kepastian hukum dan mendorong peningkatan implementasi kapasitas usaha bisnis syariah. Juga, UU SBSN menjadi penguat kinerja sistem keuangan Islami itu.

Kemudian adanya amandemen UU Perpajakan memberi kepastian hukum dalam mendorong peningkatan kapasitas bank-bank syariah melalui penarikan peran investor asing.

Di lapangan, bakal terealisasi konversi beberapa UUS (Unit Usaha Syariah) menjadi BUS (Bank Umum Syariah). Paling tidak pada tahun 2009 ditargetkan ada 9 bank umum syariah baru, yang diperkirakan enam dari bank domestik, yaitu Bukopin Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, Bank Victoria Syariah dan Bank Panin Syariah dan Bank NISP Syariah, serta tiga lainnya berasal dari investor Timur Tengah, baik didirikan dengan cara merger bank lokal atau mandiri.

Demikian pula akan terjadi realisasi penerbitan Corporate Sukuk oleh bank syariah untuk memperkuat modal dasar perbankan syariah.

“Yang tak kalah penting, meningkatnya pemahaman masyarakat dan preferensi untuk menggunakan produk dan jasa bank syariah. Demikian pula perbankan syariah dinilai sebagai bank universal. Bukan bank semata-mata untuk orang Islam,” kata Deputi Gubernur BI Siti Fadjriah.

Namun bagi kalangan bankir syariah, untuk mendukung perkembangan pesat pembiayaan nonribawi itu perlu instrumen operasi moneter syariah terus dilengkapi, karena operasi moneter syariah (OMS) yang baru saja diatur oleh Bank Indonesia (BI) belum maksimal.

Menurut Direktur Utama Bank Mega Syariah (BMS) Beny Witjaksono, instrumen operasi moneter syariah masih belum lengkap karena saat ini yang ada baru repo surat berharga syariah negara (SBSN). Sedangkan untuk “fine tuning expansion”, “fine tuning contraction” dan fasilitas lelang penyerapan dana Bank Indonesia (Fasbi) belum ada.

Tugas BI dalam menyempurnakan sitem keuangan syariah memang harus terus ditingkatkan seiring berkembang pesatnya transaksi keuangan syariah. Deputi Gubernur BI Siti Fadjriah sendiri pernah menyatakan Bank Indonesia (BI) berketetapan merumuskan strategi besar pengembangan pasar syariah, sehingga pangsa lima persen dibandingkan bank konvensional lebih cepat tercapai dari saat ini sekitar 2,2 persen.

Pada akhirnya dengan rel jelas yang mengacu UU Perbankan Syariah, harapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta pengelola perbankan syariah nasional bisa menjadi pemain domestik yang andal dan memiliki kualitas layanan dan kinerja bertaraf internasional, bukan sesuatu yang mustahil.

Dengan demikian, ke depannya, mengutip ucapan Presiden,”….semua pelaku ekonomi syariah dapat menjadikan perbankan syariah nasional sebagai platform pusat ekonomi syariah di Asia, bahkan Insya Allah di dunia. ( ant/ Zaenal Abidin )

BANK SYARIAH TAHUN 2009: MEMADUKAN PEMAHAMAN EMOSIONAL KE RASIONAL UNTUK KESEJAHTERAAN GLOBAL

Industri bank syariah telah berkembang sejak 18 Tahun yang lalu. Bermula dari kajian teoritis pada tahun 1970-an, kini mulai berkembang dalam bentuk aplikatif yakni perkembangan bank Syariah yang merupakan ikon ekonomi Syariah. Bank Syariah saat ini diharapkan menjadi sebuah solusi untuk menciptakan sektor riil dan memberikan efek makro untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi.

Berbagai tanggagapan banyak disampaikan para praktisi dan akademisi ekonomi Islam yang menyatakan bahwa industri perbankan syariah sudah menunjukkan kemajuannya sejak 18 tahun yang lalu, yang dilihat dari berbagai aspek. Walaupun demikian, harus diakui bank Syariah saat ini belum menunjukkan pengaruh terhadap sektor riil secara makro karena market share yang masih kecil sekitar 2,1% dari pangsa pasar Perbankan Nasional.

Hal ini dimungkinkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi, namun saat ini terbukti, selama tahun 2008 jaringan pelayanan bank syariah mengalami penambahan sebanyak 130 kantor cabang dan 1.440 kantor cabang bank konvensional yang memiliki layanan syariah. Secara geografis, penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat di lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) bertambah, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima BUS. Kinerja pertumbuhan pembiayaan bank syariah tetap tinggi sampai akhir tahun 2008 dengan kinerja pembiayaan yang baik (NPF, Net Performing Financing di bawah 5%).

Penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah selama tahun 2008 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 17,6% dari triwulan ketiga tahun 2007 atau menjadi 42,9% pada triwulan ketiga tahun 2008. Sementara itu, nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp.37,7 triliun. Sekali lagi industri perbankan syariah menunjukkan ketangguhannya sebagai salah satu pilar penyokong stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan kinerja pertumbuhan industri yang mencapai rata-rata 60% sejak dikembangkannya pada tahun 1992 dan diperkirakan tetap akan mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada tahun 2009. (Outlook Perbankan Syariah 2009, yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia). Tahun 2009 diprediksi mencapai 75%.

Perkembangan itu wajib kita syukuri namun kenyataan market share perbankan Syariah yang masih kecil tidak akan mempengaruhi perekonomian global. Hal ini perlu evaluasi yang mendalam bagi perbankan Syariah dan kita sebagai akademisi yang mendukung pengembangan ekonomi Syariah.

Sinergi pelaku ekonomi Syariah

Pertumbuhan bank syariah tidak terlepas dari peran berbagai pihak, baik itu masyarakat, institusi perbankan Syariah dan pemerintah sebagai pemegang kebijakan.

Peran masyarakat, Sejarah awal perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia merupakan cerminan keinginan masyarakat untuk memiliki bank yang sesuai dengan sistem Syariah. Keinginan awal pendirian bank Syariah tidak semata ditopang oleh keinginan emosional ajaran al-Qur'an yakni untuk menghindari riba. Tetapi, disamping itu, melihat dari praktek sistem perbankan konvensional juga telah melakukan eksploitasi ekonomi yang akhirnya terbukti pada tahun 1998 terjadi krisis moneter. Pada saat itu, keinginan rasional terbukti dengan ketahanan Bank Muamalat dalam menghadapi krisis moneter. Jadi, dapat dikatakan, apa yang mendasari keinginan emosional yang termaktub dalam al-Qur'an ternyata bisa dibuktikan secara rasional. Kandungan al-Qur'an yang berbicara tentang Muamalah disini terbukti secara rasional. Setelah itu, lambat laun pertumbuhan bank Syariah menunjukkan perkembangannya walaupun belum maksimal mencapai target market share 5% tahun 2008.

Peranan perbankan Syariah¸ belum terpenuhinya target pertumbuhan bank syariah mencapai 5%, perlu menjadi evaluasi diri bank Syariah dan melihat faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perlambatan tersebut. Berdasarkan survey perusahaan riset marketing MARS Indonesia, faktor utama nasabah memilih bank syariah ternyata adalah keuntungan emosional atau emotional benefit-nya. Hal ini tercermin dari dua alasan terbesar nasabah, yaitu kesesuaian dengan syariat Islam dan keinginan agar terhindar dari riba. Sementara itu yang kedua, merupakan faktor yang bersifat keuntungan fungsional yang mendasar atau functional benefit, seperti keamanan, kedekatan lokasi, bagi hasil, dan kualitas layanan.

Ketiga, nasabah yang ingin mendapatkan keuntungan finansial sekaligus keuntungan emosional. Nasabah ini banyak disebut juga sebagai nasabah rasional. Namun, ketika dihadapkan pada dua pilihan, nasabah rasional ini akan lebih mementingkan keuntungan finansial terlebih dahulu dibandingkan keuntungan emosional.

Hal ini menjadi tugas besar bagi bank Syariah untuk terus mensosialisakan produk bank Syariah ke masyarakat. Isu bunga tidak lagi menjadi fokus utama tetapi disamping itu, benefit yang dihasilkan harus bisa berkompetisi dengan bank konvensional. Tetapi, meskipun demikian, bank Syariah harus sesuai dengan koridor Syariah. Sebab, nasabah rasional selalu mengutamakan profit semata tanpa melihat efek ekonomi global. Memang, tugas bank Syariah sangat berat disamping harus memberikan profit yang maksimal tetapi harus tetap dalam koridor syariah. Sementara, masyarakat yang telah terkoptasi dengan paradigma kapitalis terkadang mengabaikan aspek kesyariahan dan mengutamakan profit semata.

Perusahaan korporasi dan kelas menengah ke atas dalam berinvestasi selalu mencari investasi yang aman dan mudah. Mudah dalam artian mendapatkan keuntungan. Tidak mengherankan banyak uang-uang panas bermain di pasar spekulatif yang menjanjikan keuntungan yang tinggi tetapi tidak menjanjikan sektor riil yang akhirnya menyebabkan buble economic dari pada mencari investasi yang menumbuhkan sekotor riil yang mempunyai resiko namun efek ekonomi di masa mendatang dapat menumbuhkan sektor perekonomian. Sudah saatnya nasabah rasional juga diberikan pemahaman emosional yang tidak memandang keuntungan sesaat tetapi juga untuk masa depan perekonomian.

Peran pemerintah, pemerintah sebagai pemegang kebijakan menjadi faktor penentu pengembangan bank Syariah. Pasca disahkannya Undang-undang No. 21 tentang Perbankan Syariah dan Undang-undang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) menunjukkan bahwa pemerintahan SBY telah mendukung keberadaan bank Syariah. Namun demikian, masih perlu kerja nyata untuk pengembangan bank Syariah. Kerja nyata itu terwujud dengan melibatkan bank Syariah dalam sektor korporasi. Dengan disahkannya RUU SBSN menjadi UU SBSN memberikan dampak positif bagi industri ekonomi syariah. Kepastian Hukum akan menarik Investor syariah baik di Timur Tengah maupun di berbagai belahan negara lainnya. Keberadaan UU tersebut akan mendorong pertumbuhan industri ekonomi syariah karena pemerintah dapat mengeluarkan berbagai produk sukuk dan turunannya yang dapat diserap oleh industri. Inilah kerja nyata yang dimaksud, secara konkrit pemerintah harus mengkonversi bank BUMN menjadi bank Syariah untuk mencapai target pertumbuhan bank Syariah sebesar 5%.

Kesimpulan

Dalam pengembangan ekonomi Syariah tidak bisa diabaikan peran ekonomi Syariah. Perbankan Syariah hanya bagian dari ekonomi Syariah. Ekonomi Syariah dikaji secara mikro dan makro ekonomi Syariah. Perilaku individu-individu dalam berekonomi akan menghasilkan kebijakan makro ekonomi.

Pemahaman ekonomi Syariah individu harus dibenahi sehingga konsep ekonomi Syariah dapat dipahami dengan benar. Kapitalisme yang merasuki jiwa individu-individu menjadi hambatan besar. Kemudahan dalam mendapat keuntungan bagi pemodal besar -kapitalis- sering memainkan uang sebagai komoditi yang keuntungannya besar tetapi efek terhadap sektor riil tidak ada. Secara logika, siapa pun tidak mau rugi dalam berinvestasi tetapi tidak juga harus menyebabkan efek negatif pada perekonomian global.

Dalam hal ini, peran pemegang kebijakan makro melihat kondisi efek makro. Peluang untuk memajukan ekonomi global yang digagas ekonomi Syariah harus didukung secara maksimal. Sebaliknya, peluang untuk menhancurkan perekonomian sedikit demi sedikit harus dikurangi, dan akhirnya dihapuskan. Jadi, sistem ekonomi Syariah harus dipahami dalam hal perilaku individu dan perilaku global. Pemegang kebijakan ekonomi harus paham dengan maksud dan tujuan ekonomi Syariah sehingga tindakan kebijakannya sesuai dengan nilai-nilai syariah. Sistem ekonomi Syariah di mulai dari teori empiris mikro Syariah dan menghasilkan kebijakan makro Syariah sehingga menciptakan kesejahteraan ekonomi global.

Penulis adalah Dosen STAIN Padangsidimpuan (Alumni PPS Universitas Indonesia)
Darwis Haharap, S.HI., M.Si.

Perbankan Syariah Dan Optimisme Menatap 2009

Tahun 2008 merupakan tahun yang penuh tantangan bagi sistem keuangan, baik domestik maupun global. Krisis yang bermula dari suprime mortage telah mengganggu stabilitasi sistem keuangan. Pertumbuhan industri perbankan syariah pada 2008 cukup meredup justru ketika diprediksikan bisa mencetak sejarah menguasai 5% aset perbankan nasional. Dana pihak ketiga hanya tumbuh 22,88%, jauh lebih rendah dari pertumbuhan 2007 sebesar 35,46%. Berdasarkan data Bank Indonesia, hingga November 2008, bank syariah syariah membukukan dana pihak ketiga Rp34,42 triliun dari posisi akhir 2007 sebesar Rp28,01 triliun. Pada akhir 2006, bank jenis ini menghimpun dana Rp20,67 triliun.

Dari sisi aset, dalam sebelas bulan 2008 terjadi pertumbuhan Rp10,64 triliun atau 29,12% dari akhir 2007 sebesar Rp36,53 triliun. Namun, ini pun tak cukup untuk melampaui persentase pertumbuhan 2007 sebesar 36,71%. Berbagai upaya mendongkrak pertumbuhan bank syariah sebenarnya telah dilakukan pada paruh pertama tahun ini. Salah satunya adalah pengadaan lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Syariah. Hanya saja, ini tak cukup menarik terbukti dari penempatan dana di BI justru tinggal Rp3,5 triliun dari akhir 2007 sebesar Rp 4,8 triliun. Selain itu, Undang Undang Perbankan Syariah sudah disahkan pada kuartal pertama 2008. Terakhir, pemerintah pada 24 Agustus 2008 melelang obligasi negara syariah (sukuk) perdana. Namun, minat perbankan syariah pada instrumen tersebut juga cukup menggembirakan. Ini terbukti dari kontribusi penawaran sebesar Rp 780 miliar dari sukuk yang diterbitkan Rp4,69 triliun.

Dari sisi kelembagaan, jaringan operasional perbankan syariah mengalami peningkatan jangkauan yang cukup signifikan sampai dengan triwulan ketiga tahun 2008. Outley pelayanan mengalami penambahan sebanyak 130 kantor cabang dari jaringan kantor dibawah kantor cabangm baik berasal dari BUS dan UUS. Secara geografis, penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat di lebih dari 89 kabupaten/ kota di 33 proponsi. Partisipasi itu lebih rendah dari asuransi 50,8%. Menurut Agustiono (dosen S2 Universitas Trisakti, UI, Paramadina) bahwa terbesar yang hanya mencapai 19 persen per tahun. Di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah juga tumbuh makin pesat, secara fantastis.

Krisis keuangan global di satu sisi telah membawa hikmah bagi perkembangan perbankan syariah. Masyarakat dunia, para pakar dan pengambil kebijakan ekonomi, tidak saja melirik tetapi lebih dari itu mereka ingin menerapkan konsep syariah ini secara serius. Di Indonesia prospek perbankan syariah makin cerah dan menjanjikan. Bank syariah di negeri ini, diyakini akan terus tumbuh dan berkembang. Perkembangan industri lembaga syariah ini diharapkan mampu memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Apalagi dengan pertumbuhan industri yang rata-rata mencapai 60% dalam lima tahun belakangan ini. Penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini megalami pertumbuhan pesat. Jika pada tahun 2006 jumlah jaringan kantor hanya 456 kantor, sekarang ini jumlah tersebut menjadi 1440 (Data BI Okt 2008). Dengan demikian jaringan kantor tumbuh lebih dari 200 %. Jaringan kantor tersebut telah menjangkau masyarakat di 33 propinsi dan di banyak kabupaten/kota. Sementara itu Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) juga bertambah 2 buah lagi, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima Bank Umum Syariah. Pada tahun 2009, akan hadir 8 Bank Umum Syariah lagi, sehingga total Bank Umum Syariah menjadi 12 buah. Secara umum krisis keuangan global belum secara signifikan mempengaruhi kinerja perbankan nasional, dimana pertumbuhan pembiayaan (kredit) perbankan yang masih tinggi dengan tingkat pembiayaan (kredit) bermasalahnya yang masih terjaga di bawah 5%. Jika suku bunga meningkat, maka ia akan menekan pertumbuhan DPK (termasuk aset) perbankan syariah, begitu pula sebaliknya jika suku bunga cenderung turun DPK bank syariah akan meningkat. Pada saat ini suku bunga cendrung menurun, maka DPK di tahun 2009 akan terus meningkat. Pada tahun 2009, bank syariah di Indonesia, diyakini akan terus tumbuh. berkembangnya industri lembaga keuangan syariah ini diharapkan mampu memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Apalagi dengan pertumbuhan industri yang rata-rata mencapai 60% dalam lima tahun belakangan ini.


Dampak Makro Ekonomi Dan Prospek Perbankan Syariah 2009

Industri perbankan syariah diharapkan tetap akan mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada tahun 2009. Proyeksi ini diambil dengan mempertimbangkan beberapa kondisi: (1). Kinerja permintaan domestik masih relatif tinggi di tengah ketidakpastian ekonomi global (2) industri perbankan syariah nasional masih dalam tahapan perkembangan awal dan belum memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan sistem keuangan global dan tidak memiliki srafitikasi transaksi yang tinggi. Ekposur pembiayaan perbankan syariah masih didominasi olem pembiayaan pada aktivitas perekonomian domestik, artinya masih dapat bertumbuh dengan cepat sebagaimana kinerja pertumbuhan pembiayaan yang tinggi sampai akhir tahun 2008 dengan kinerja pembiayaan yang cukup baik. Disisi lain, Kinerja ekonomi sektor riil berupa peningkatan inflasi diikuti penurunan konsumsi yang terus terjadi sejak awal tahun tahun 2008 memberikan tekanan pada pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah mulai triwulan ke-2 tahun 2008. perlambatan pertumbuhan ekonom dunia dalam periode waktu yang cukup panjang akan menyebabkan tekanan liquiditas pada sistem perbankan nasional, termasuk perbankan syariah. Diperkirakan, semakin banyak nasabah korporasi akan menarik dana sebagai implikasi dari penurunan kondisi usaha. Secara makro, otoritas moneter akan berusaha mempertahankan nilai tukar untuk mencegah terjadinya capital outflow yang ditandai oleh peningkatan suku bunga yang relatif tinggi. Sementara itu, ada angin segarnya tersedianya dana investasi global yang berlimpah, terutama yang berasal dari kawasan berpenghasilan minyak bumi dari timur tengah, siap dialirkan ke berbagai tujuan investasi di seluruh dunia. Perkiraan besarnya surplus dana investasi ini mencapai sekitar 1,5 triliun dollar AS pada tahun 2009. perbankan syariah nasional di tahun 2009 diperkirakan masih akan berada pada tahun 2009 diperkirakan masih akan berada dala fase highgrowth-nya. Optimisme tersebut didasarkan pada asumsi, bahwa faktor-faktor yang mempercepat pertumbuhan industri perbankan syariah akan dapat dipenuhi, antara lain : realisasi konversi beberapa UUS (unit-unit syariah) menjadi BUS, implementasi UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, Implementasi UU No. 19 tahun 2009 tentang SBSN (obligasi syariah), dukungan dari amandemen UU Perpajakan.

Bank Syariah Harus Tahan Banting di tengah Badai

Sejumlah negara barat mulai melirik perekonomian syariah sejak terjadi krisis kapitalisme, sebagai salah satu alternatif lantaran perbankan syariah hampir tak tersentuh dampak besar krisis global. Menurut konsultan Batasa Tazkia Consulting, Heriyakto S Harmono, prinsip syariah yang bersifat universal membuatnya dapat diterapkan di berbagai negara, dan dalam hal ini umat islam pun berperan sebagai faktor katalis untuk mengakselerasi pertumbuhan perbangkan syariah, artinya bank syariah harus menunjukan kinerja terbaiknya sebagai mitra sektor riil. Sementara itu, menurut pengamat perbankan syariah dan akademisi, Sofyan S Harahap mengatakan ketahanan perbankan syariah bisa bertahan lam asal saja prinsip syariah benar-benar dijalankan para pelaku, ditengah badai krisis sistem industri syariah nasional justru haru menawarkan keunggulan prinsip-prinsipnya kepada masyarakat dan kondisi harus dimanfaatkan para pelaku usah syariah dengan baik untuk mengembangkan perbankan syariah nasional. Katanya. Sementara itu terkau dengan industri perbankan syariah, bank indonesia (BI) merevisi target pencapaian total aset perbankan nasional dari tahun ini dan tahun depan menjadi tahun 2010. Menurut Deputi BI, Siti Fadjirah dengan diundurnya pencapaian target tersebut karena kondisi ekonomi saat ini memang melambat. Sementara itu, direktur Karim Consulting, Adi Warman Karim mengatakan bahwa ada empat hal yang diterapkan oleh bank syariah kepada bank Indonesia dan pemerintah agar bank syariah berkembang lebih cepat. Pertama, adanya istrumen liquiditas. Kedua, kalau mau tumbuh lebih cepat, kita ingin juga-dan sudah dilakukan pemerintah dengan penurunan kewajiban modal untuk pendirian bank yang baru, yakni Rp. 500 miliar. Ketiga, adanya kejelasan dan kepastian mekanisme spin off. Keempat, yang kita harapkan di Indonesia khsususnya di Bank Syariah persoalan pajak harus benar-benar selesai. Sementara Riawan Amin (Dirut Bank Muamalat) mengajak seluruh pelaku industri perbankan syariah di tahun 2009 agar menjadikan momentum krisis keuangan global sebagai momentum untuk memperbaiki kinerja syariah nasional, justru dalam kondisi krisis seperti ini, perbankan syariah perlu menunjukan kinerja terbaiknya sebagai mitra sektor riil.

Proyeksi Petumbuhan Perbankan Syariah Nasional 2009

Skenario Pesimis

Sekenario Moderat

Skenario Optimis

Proyeksi

pertumbuhan 25 %

Proyeksi

pertumbuhan 37 %

Proyeksi

pertumbuhan 75%

Total aset Rp. 57 triliun

Total aset Rp. 68 triliun

Total aset Rp. 87 triliun


Sumber : Bank Indonesia

5 Bank Syariah Lahir Tahun 2009


Jakarta – Industri perbankan syariah di Indonesia masih menjanjikan. Setelah dua Bank Umum Syariah hadir pada tahun 2008, maka pada tahun berikutnya akan ada 5 bank umum syariah lagi yang akan meramaikan pasar perbankan di Indonesia.
Demikian disampaikan Deputi Gubernur Bank Indonesia Siti Fadjrijah dalam acara diskusi tentang perbankan syariah di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (12/11/2008).

"Tahun ini BRI Syariah dan Bukopin Syariah akan menjadi Bank Umum Syariah, izinnya sudah keluar bulan lalu. Tahun depan ada 5 lagi bank yang akan dikonversi Panin-Harfa, BCA-UIC, Victoria, Maybank Indonesia dan BNI Syariah. BTN syariah belum," urainya.
Dengan tambahan-tambahan bank syariah baru tersebut, BI optimistis target aset syariah 5-10 persen pada tahun 2010 akan tercapai. Menurut Fadjrijah, saat ini aset perbankan syariah Indonesia sekitar 2,2% dari seluruh aset perbankan nasional.
"Aset syariah di Indonesia berkembang 30% per tahun. Kalau total aset syariah dunia saat ini sekitar US$ 1,3 triliun. Ada sekitar 400 lembaga keuangan di dunia yang menawarkan produk syariah, termasuk sukuk," jelas Fadjrijah.
Fadjrijah menambahkan, sistem keuangan syariah memberi pondasi kokoh, underlying-nya riil. Untuk terus mengembangkannya, lanjut Fadjrijah, maka hal yang paling penting adalah menekankan masalah edukasi, positioning dan branding dengan slogan baru beyond banking.

Sumber : detikfinance.com

Ekonomi Syariah Di Indonesia Tahun 1430 H: Peluang dan Tantangan

Melihat kondisi perekonomian dunia saat ini membuat merinding bulu kuduk. Terpaan gelombang krisis global yang hebat ini seakan tidak pandang bulu dalam menerjang siapapun yang ada di hadapnnya, mulai dari negara yang disebut negara super power yakni Amerika Serikat maupun negara-negara maju lainnya seperti di kawasan Eropa dan Asia. Tentu keterpurukan perekonomian global saat ini sebagai bukti dan penegasan kembali bahwa terlihat dengan nyata, sistem ekonomi kapitalis yang menganut laize faire dan berbasis riba kembali menjadi pihak tergugat. Faham neoliberalisme tidak bisa dipertahankan. Pemikiran Ibnu Taymiyah dan Ibnu Khaldun adalah suatu ijtihad yang benar dan adil untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan masyarakat.

Oleh karena kapitalisme telah gagal mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk mendekonstruksi ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan berketuhanan yang disebut dengan ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma, sistem dan konstruksi materialisme kapitalisme, lalu menggantinya dengan sistem dan paradigma syari'ah.

Capaian-capaian positif di bidang sains dan teknologi tetap ada yang bisa kita manfaatkan, artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada yang bisa digunakan, seperti alat-alat analisis matematis dan ekonometrik,.dsb. Sedangkan nilai-nilai negatif, paradigma konsep dan teori yang destrutktif, filosofi materalisme, pengabaian moral dan banyak lagi konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi pembangunan yang harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya dekonstruksi, krisis demi krisis pasti terus terjadi, ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin merajalela, kesenjangan ekonomi makin lebar, kezhaliman melalui sistem riba dan mata uang kertas semakin hegemonis.

Sekarang menjadi tanggung jawab para akademisi dan praktisi ekonomi syari'ah untuk menyuguhkan konstruksi ekonomi syariah. Karena ekonomi syariah memiliki keunggulan yang tak dimiliki sistem kapitalis, ekonomi syariah mewujudkan pembangunan ekonomi yang adil, maslahah, dan dapat mewujudkan kesejahteraan umat manusia, tanpa krisis finansial, tanpa penindasan, kezaliman dan penghisapan, baik antar individu dan perusahaan, negara terhadap perusahaan, maupun negara kaya terhadap negara miskin.

Di Indonesia pangsa pasar ekonomi syari’ah tahun 2009 ditargetkan menjadi lima persen, dibandingkan pada tahun sebelumnya sebesar tiga persen. “Kita yakin pangsa pasar yang lima persen nanti bisa memberikan kontribusi bagi persekonomian Indonesia untuk keluar dari krisis global,” Ujar Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syari’ah Aries Mufti, sebelum acara Talk Show Penanganan Krisis Global, di Hotel sultan, Jakarta, Senin (3/11/2008).

Saat ini memang perkembangan yang begitu mencolok masih pada sektor keuangan. Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat di bidang keuangan syariah ini tentu saja membuka peluang bagi Indonesia untuk juga ikut lebih aktif didalamnya. Pengalaman di masa krisis menunjukkan bahwa bank (dan lembaga keuangan) syariah terbukti mampu bertahan dari berbagai guncangan dan relatif tidak membutuhkan banyak bantuan pemerintah. Ini berarti bahwa upaya pengembangan lembaga keuangan syariah juga sekaligus akan membantu ketahanan perekonomian nasional. Untuk itu, harus didesain kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan dan pertumbuhan lembaga keuangan syariah, sekaligus memungkinkan lahirnya pemikiran-pemikiran dari para ahli ekonomi untuk menghasilkan konsep atau teori ekonomi Islam yang betul-betul menguntungkan dan sejalan dengan hukum Islam.

Bagi Indonesia, berbagai potensi yang ada seharusnya mampu mempermudah dan mempercepat perkembangan ekonomi syariah beserta perangkat yang diperlukan. Ini mengingat mayoritas penduduk beragama Islam dan kesadaran untuk memanfaatkan jasa perbankan berbasis syaraiah terus tumbuh. Karena itu, tidak berlebihan jika Indonesia seharusnya bisa menjadi basis dan penggerak perekonomian syariah dunia. Namun sayang sejauh ini, hal itu masih belum bisa terwujud dan beberapa negara tetangga justru lebih agresif dibandingkan Indonesia.

Upaya strategis dalam hubungannya dengan pengembangan ekonomi Islam ini telah mulai dilakukan pemerintah, antara lain dengan penyusunan perangkat perundangan yang pada tahun 2008 ini telah disahkan yaitu UU No 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional dan UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. UU No 19 dapat disebut sebagai upaya pemerintah meningkatkan porsi pembiayaan pembangunan nasional melalui skema pembiayaan syariah dari obligasi negara dan surat berharga lainnya yang memang memiliki peluang besar bagi Indonesia untuk memperolehnya dari investor Timur Tengah maupun umat Islam Indonesia sendiri. Adapun UU No 21/2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh pembangunan nasional. Lahirnya kedua peraturan perundangan ini dengan sendirinya akan menambah ruang bagi pengembangan ekonomi Islam dengan perbankan syariah sebagai lokomotifnya, meskipun berbagai pengembangan masih tetap perlu dilakukan, terutama terkait dengan kebijakan pendukung. Selain itu, harus juga diakui bahwa berbagai persoalan masih menjadi kendala perkembangan ekonomi Islam dan lembaga keuangan Islam di Indonesia.

Permintaan akan jasa keuangan dan praktek ekonomi berbasis syariah berkembang lebih cepat dari perkembangan terkait pemikiran dan konsep mengenai ekonomi Islam. Ini berarti bahwa sumber daya insani yang memadai dalam tugas-tugas akademik dan intelektual untuk merumuskan berbagai pemikiran ekonomi Islam masih jauh dari mencukupi. Dilain sisi ternyata pemenuhan SDI yang langsung bersinggungan dengan wilayah praktis saat ini masih belum bisa memenuhi secara optimal, hal ini disebabkan karena pemenuhannya masih sekedar pemolesan.

Pola-pola hubungan berbasis syariah baru sebatas akad dan ikrar, belum substansinya. Dengan kata lain, transaksi yang terjadi baru sekedar pada tahapan menghilangkan unsur riba dengan mendesain transaksi yang sah akad dan ikrarnya, dan belum menyentuh persoalan mendasar pada masyarakat yang membutuhkan peran aktif lembaga keuangan syariah. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pendekatan terhadap ekonomi syariah di Indonesia dilakukan oleh dua kutub keilmuan, yaitu ilmu ekonomi dan ilmu hukum Islam. Keduanya memang merupakan basis bagi ekonomi syariah, namun harus didekati dengan pendekatan yang integratif, sehingga tidak terkesan berjalan sendiri-sendiri. Tentang substansi yang mendasari sebagai nilai-nilai utama ekonomi syariah ini memang masih terus dirumuskan oleh para pakar dan teoritisi di bidang ekonomi syariah. Berbagai buku ekonomi Islam yang ada saat ini memang masih sangat terbatas untuk menjelaskan pola-pola bisnis syariah yang tidak hanya sesuai dengan prinsip syariah, tetapi juga mampu memberikan kesejahteraan masyarakat luas.

Kontribusi ekonomi Islam dalam pengembangan kesejahteraan masyarakat sebenarnya merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang seharusnya juga menjadi ruh pengembangan ekonomi Islam beserta lembaga keuangan dibawahnya. Konsep kerjasama dalam kebaikan dan takwa (ta’awun fil birri wa taqwa), merupakan bagian dari prinsip Islam yang dijunjung tinggi. Namun dalam prakteknya, harus kita akui bahwa praktek keuangan syariah, semisal bank masih jauh dari konsep ini. Sampai saat ini, pembiayaan murabahah (jual-beli) masih mendominasi komposisi pembiayaan bank syariah. Ini berarti bahwa bank syariah masih belum berani bermain pada pembiayaan untuk investasi riil yang memang membutuhkan lebih banyak energi dibandingkan pembiayaan jual-beli.

Berdasarkan sektor ekonomi, kontribusi perbankan syariah juga belum mencerminkan upaya pengembangan kesejahteraan masyarakat. Sektor-sektor primer yang menguasai hajat lebih banyak anggota masyarakat belum sepenuhnya menjadi concern perbankan syariah dalam menyalurkan kreditnya. Perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya memang bisa berkelit bahwa pada tahap awal, pragmatisme bisnis masih diperlukan untuk menjaga eksistensi usaha. Namun demikian dalam jangka panjang, strategi dan pendekatan yang lebih membela kepentingan rakyat sudah saatnya menjadi fokus pelaku usaha bidang perbankan syariah.

Kontribusi lain dari ekonomi Islam untuk kesejahteraan masyarakat sebenarnya dapat juga dilakukan melalui alokasi berbagai proyek untuk kepentingan rakyat banyak yang didanai melalui skema pembiayaan syariah. Perkembangan sukuk di tingkat internasional misalnya bisa dijadikan contoh. Tingginya likuiditas pada negara-negara kaya minyak di Timur Tengah sebenarnya bisa diserap menjadi dana potensial untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang berorientasi pada rakyat banyak, semisal pembangunan jalan, sarana irigasi, dan lain-lain. Potensi ini sudah diakomodasi melalui penerbitan UU No 19/2008 dan sudah saatnya memberikan hasil yang positif. Untuk itu, peran pemerintah menjadi lebih dituntut untuk membangun iklim usaha yang baik sehingga berbagai peluang yang telah ada dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan nasional.

Pemerintah sudah saatnya tidak hanya berkonsentrasi pada pengembangan lembaga keuangan syariah sebagai lokomotif pengembangan ekonomi Islam semata, tetapi sudah saatnya merambah pada upaya strategis menguatkan peran ekonomi Islam dalam perekonomian nasional melalui strategi jangka panjang yang mencakup lebih banyak aspek kehidupan. Islam sebagai nilai universal syamil dan mutakamil tentu saja tidak hanya dipraktekkan dalam kaitannya dengan masalah transaksi, tetapi juga dalam masalah manajemen, tata pamong (governance), pendidikan dan bahkan budaya bangsa dan ditahun baru ini semoga kita semua menyadarinya.

Oleh: Endra Nuryanto

RUANG LINGKUP PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 SERTA ANALISANYA

Latar Belakang, dalam krissis ekonomi global, yang mengakibatkan semakin terpengaruhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar dengan dampak melambatnya pertumbuhan perokonomian di Indonesia. Atas dasar tersebutlah, dan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional harus terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi maka perlu dikembangkannya suatu sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah/ Islam. Dimana prinsip-prinsip syari’ah inilah yang nantinya mempunyai daya saing, terutama untuk menarik para investor negara Timur Tengah (Arab), yang terkenal dengan istilah industri kilangan minyak bumi sebagai pemasok terbesar diasia tenggara. Prinsip-prinsip syariah ini adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat, karena perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional.
Prinsip dasar tersebut diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri yaitu diperlukannya/dibentuknya sebuah Undang-Undang tentang Perbankan Syariah;

Landasan Hukum, perlu diketahui bahwa Undang-Undang tentang Perbankan Syariah harus berlandaskan kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu Pasal 20 dan Pasal 33, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang¬Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);

Merupakan sebagai landasan dan sekaligus sebagai payung hukum dari Undang Undang Perbankan Syari’ah adalah juga merupakankan sebagai kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakukan yang bersifat ekternal maupun internal yang mengingat kepada bahwa perbankan syari,ah nantinya akan berkembang pesar dan akan sejajar kedudukkannya dengan Bank konvesional, oleh karenanya untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan tersebut, perlu sekali pengaturan yang bersifat internal mapun eksternal, baik berupa kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan untuk berperan didalam kancah perekonomian global sekarang ini.

Pengertian Hukum Perbankan : Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, yang mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan pengertian Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat yang bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Semua kegiatan perbankan di Indonesia dibawah naungan dan pengawasan Nank Indonesia dan pengertian Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lain halnya dengan pengertian Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat. Sedangkan pengertian Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sesuai dengan perkembangan jaman dan era globalisasi ekonomi, dimana Bank Syariah adalah merupakan sebagai Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip Syariah/Islam, yang menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang dalam kegiatannya adalah untuk memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dimana terdapat Unit Usaha Syariah (UUS) adalah suatu unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.

Sedangkan Kantor Cabang adalah merupakan sebagai kantor cabang Bank Syariah yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi kantor cabang tersebut untuk melakukan usahanya. Terdaptnya prinsip-prinsip syari’ah adalah suatu prinsip hukum Islam yang didalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan didalam menetapan fatwa di bidang syariah, dalam hal mengenai akad yang merupakan sebagai kesepakatan tertulis antara Bank Syariah (UUS) dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. Dan mengenai kerahasia Bank yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpananannya serta Nasabah Investor dan Investasinya (yang disimpan pada bank syari’ah harus dijaga kerahasiaanya).

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa secara internal maupun secara eksternal kedudukan bank syari’ah berada didalam bank konvesional, yang merupakan suatu unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah tersebut.

Didalam perbankan syari’ah terdapat pihak terafiliasi adalah sebagai berikut : a. komisaris, direksi atau kuasanya, pejabat, dan karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, b.pihak yang memberikan jasanya kepada Bank Syariah atau UUS, antara lain Dewan Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai, dan konsultan hukum; dan/atau, dan c. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta memengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau UUS, baik langsung maupun tidak langsung, antara lain pengendali bank, pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, dan keluarga direksi.

Pihak yang menyimpan dana pada bank syari’ah adalah nasabah yaitu sebagai pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah (UUS) yang terdiri dari :1. Nasabah Penyimpan, yang merupakan sebagai Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah (UUS) dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan, 2. Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah (UUS) dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah(UUS) dan pihak Nasabah yang bersangkutan, 3. Nasabah Penerima Fasilitas adalah nasabah adalah nasabah yang memperoleh fasilitas dana, yang berdasarkan Prinsip Syariah, 4. Simpanan adalah suatu dana yang dipercayakan oleh pihak nasabah kepada Bank Syariah (UUS) berdasarkan Akad wadi'ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro/Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan surat berharga syari’ah lainnya.

Mengenai pengertian tabungan adalah adalah suatu simpanan yang berdasarkan Akad wadi'ah atau Investasi dana berdasarkan Akad mud harabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, sedangkan deposito adalah investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah(UUS).

Simpanan lain yang berbentuk giro adalah suatu simpanan yang berdasarkan Akad wadi'ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindah bukuan. Lain halnya dengan investasi yaitu suatu dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah (UUS) berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan berdasarkan undang-undang perbankan.
Didalam kegiatan perbankan Syari’ah terdapat istilah pembiayaan yaitu penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a.transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, b.transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna', d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah (UUS) dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Untuk menjamin kelancaran perbankan syari’ah tersebut didalam melahsanakan transaksi yang berupa transaksi bagi hasil, jual beli/sewa, transaksi sewa menyewa diperlukan suatu agunan yaitu suatu jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah (UUS), guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas dari bank syari’ah tersebut.

Perlu kita ketahui bahwa terhadap pengertian penitipan adalah suatu penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah (UUS) dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum Syariah(UUS) yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut dan terdapatnya wali amanat adalah Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan Akad wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat berharga tersebut.(hal ini didalam realisasi transaksi perbankan syari’ah).

Didalam kegiatan perbankan, mungkin saja akan terjadi didalam penyehatan suatu bank yaitu dengan cara melakukan penggabungan yaitu suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank/lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank yang menggabungkan diri akan beralih kepada hukum Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan diri tersebut akan berakhir karena hukum.

Sedangkan mengenai suatu upaya peleburan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank/lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Bank baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Begitu pula dengan istilah pengambil alihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut dan pegitupula mengenai hal pemisahan adalah pemisahan usaha dari satu Bank menjadi dua badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Segala tindakan tersebut diataur oleh Undang Undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah, yang merupakan sebagai kebijakan pemberlakukan yang ditentukan oleh kebijakan dasar dari Peraturan Bank Indonesia, yang merupakan sebagai bank sentral indonesia untuk mengatur dan mengawasi segala kegiatan perbankan di Indonesia.

Kegiatan perbankan syari’ah didasari oleh asas, tujuan dan fungsi dari Perbankan Syariah didalam melakukan kegiatan usahanya yang berasaskan Prinsip Syariah/Islam, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian, dengan bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat yaitu : 1. untuk menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, 2. untuk menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat, 3. untuk menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakil) dan 4. Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mengenai masalah perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar dan kepemilikan diatur oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, dimana dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah (UUS) dari Bank Indonesia, ayat (2).untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang: (a.susunan organisasi dan kepengurusan, b.permodalan, c. kepemilikan, d.keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan e. kelayakan usaha), (3). persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia, (4). Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata "syariah" pada penulisan nama banknya, (5). Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase "Unit Usaha Syariah" setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan, (6). Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Bank Indonesia, (7). Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum Konvensional, (8). Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan Rakyat dan (9). (9) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia.

Terdapat pengaturan dalam Pasal 6 ayat 1 sampai dengan ayat 4, dimana terhadap pembukaan kantor cabang Bank Syari’ah(UUS), dan jenis-jenis lainnya , begitu pula terhadap pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis¬-jenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yaitu hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Dan kemudian untuk pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.
Sedangkan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri, hal ini merupakan suatu ketentuan yang telah dinyata secara tegas oleh Undang-Undang Bank Indonesia.

Mengenai bentuk Badan Hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas (diatur dalam Pasal 7), sedangkan mengenai anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan adalah mengenai ketentuan : a. pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia, b. Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (Pasal 8).

Dalam hal mengenai pendirian dan kepemilikan Bank Syari’ah harus memenuhi syarat-syarat : Bank Umum Syari’ah didirikan dan dimiliki oleh a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau c. pemerintah daerah.(ayat 1), sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a). warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia,b).pemerintah daerah; atau c).dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b (ayat 2) dan untuk kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ((ayat 3) dari Pasal 9))

Terhadap pengaturan mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah (terdapat dalam pasal 5 s/d Pasal 9) dan mengenai besarnya modal yang disetor untuk mendirikan Bank Syari’ah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (pasal 10 dan Pasal 11). Terhadap kegiatan saham bank syari’ah dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama, dan kegiatan Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah/Islam dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal (Pasal 11 dan Pasal 12). Untuk ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan Bank Syari’ah diatur oleh Pasal 13 sampai dengan Pasal 17, dimana harus selaras dengan ketentuan Prinsip Syari’ah dan Peraturan Bank Indonesia.

Untuk pengaturan mengenai jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana dan larangan bagi bank syariah dan UUS, diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 26, sedangkan mengenai pengaturan pemegang saham pengendalian, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Direksi dan Tenaga Kerja Asing diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. Terhadap pengaturan Tata Kelola, Prinsip Kehati-hatian dan Pengelolaan Risiko Perbankan Syari’ah diatur dan dijelaskan dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 40, yang mengatur secara jelas dan terperinci terhadap kegiatan perbankan syari’ah tersebut.
Kerasiaan Bank wajib dijaga mengenai nasabah penyimpan, nasabah investor, investasinya dengan pengecualian untuk kepentingan penyidik pidana perpajakan, pimpinan BI atas perintah menteri keuangan, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana ( diatur oleh Pasal 41 sampai Pasal 49).

Bank Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bank Syariah(UUS), agar tetap memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami, serta aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah (UUS), dimana kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah (UUS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Dan selain itu Bank Syariah (UUS) wajib menyampaikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut tata cara yang telah ditetapkan.

Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang : a. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank, b. memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank dan c. memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening simpanan maupun rekening Pembiayaan.

Bank Indonesia dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya untuk dan atas nama Bank Indonesia, melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2), sebagaimana persyaratan dan tata cara pemeriksaan yang di atur dalam ayat (1) Peraturan Bank Indonesia dan Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan terhadap Bank Syariah apabila mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, dalam rangka tindak lanjut mnelakukan pengawasan antara lain: a.membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham, komisaris, direksi, dan pemegang saham, b. meminta pemegang saham menambah modal, c. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank Syariah, d. meminta Bank Syariah menghapus pembukuaan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya, e. meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain, f. meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya, g. meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain, dan h. meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain. (diatur oleh Pasal 50 sampai dengan Pasal 54).

Apabila Bank Syariah didalam melakukan kegiatan perbankan terdapat sengketa terhadap pihak lain, maka penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat dilakukan/diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, apabila para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan sesuai dengan isi Akad dan didalam penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah/Islam. (diatur dalam Pasal 55).

Bank Indonesia sebagai Bank Sentral akan menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah (UUS), anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini (diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 66), dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran kerahasiaan bank.
Analisa secara faktor internal, terhadap bank syari’ah yang merupakan badan hukum untuk melakukan kegiatan menghimpun dana dari para nasabah, dengan menjamina kerahasian para nasabah, kecuali ditentukan lain demi kepentingan pidana perpajakan, atas perintah Pimpinan Bank Indonesia/mentri keuangan dan untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Bank Indonesia yang merupakan sebagai Bank Sentral di Indonesia, berkewajiban melakukan pemeriksanaan maupun pengawasan terhadap Bank Syari’ah, apabila dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang, dan pengenaan sanksi administratif dan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran kerahasiaan bank tersebut. Landasan hukum berdasarkan kebijakan dasar tersebut adalah membuktikan bahwa perbankan syari’ah terlihat siap ikut melaksankan dan membantu perekonomian Indonesia, khususny perekonomian yang berdasarkan prinsip kesyari’ahan.
Analisa secara faktor eksternal, adalah untuk membuktikan kapada dunia internasional bahwa perbankan syari’ah dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan perekonomian baik secara nasional maupun internasional, serta untuk menarik para investor asing terutama para investor negara-negara Islam (misalnya negara arab saudi, Quaid dan lain-lainya) agar mau menginvestasikan modalnya di negara Indonesia dengan prinsip-prinsip kesyari’ahan. Faktor eksternal inilah yang berperan sangat penting didalam perkembangan perbankan syari’ah, agar dapat tumbuh dan berkembang dengan ceapt, yang nantinya dapat diharapkan membnatu perekonomian Indonesia.
Analisa baik secara faktor internal maupun secara faktor eksternal, dimana terlihat baik mengenai kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuannya telah selaras dan harmonis, hanya didalam realisasi harus diatur dengan secara tegas berdasarkan prinsip syari’ah yang bersifat nasional maupun internasional, hal ini untuk mengantisipasi apabila terjadi sengketa baik dengan para nasabah/investor baik secara nasional maupun internasional. Hal ini harus diperhitungkan secara mendalam bagaimana untuk menangani sengketa tersebut? apalagi jika melibatkan wilayah hukum dua negara atau lebih.

http://www.blogcatalog.com

Perbankan syariah

Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.

Sejarah

Dunia

Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.

Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.

Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.

Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.

Indonesia

Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. [1].Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero).

Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.

Prinsip perbankan syariah

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain [2]:

  • Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
  • Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
  • Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
  • Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
  • Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.

Produk perbankan syariah

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:

Jasa untuk peminjam dana

  • Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan. [3]
  • Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan[4]
  • Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah. [5]
  • Takaful (asuransi islam)

Jasa untuk penyimpan dana

  • Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. [6]
  • Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

Tantangan Pengelolaan Dana

Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.

Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.

Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.

Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global.

Penghimpunan dana

Selain investor asing, penghimpunan dana perbankan syariah dari dalam negeri akan didongkrak penerapan office-channeling yang didasari Peraturan BI Nomor 8/3/PBI/2006. Aturan ini memungkinkan cabang bank umum yang mempunyai unit usaha syariah melayani produk dan layanan syariah, khususnya pembukaan rekening, setor, dan tarik tunai.

Sampai saat ini, office channeling baru digunakan BNI Syariah dan Permata Bank Syariah. Sejumlah 212 kantor cabang Bank Permata di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya sudah dapat melayani produk dan layanan syariah sejak awal Maret lalu. Sementara tahap awal office channeling BNI Syariah dimulai 21 April 2006 pada 29 kantor cabang utama BNI di wilayah Jabotabek. Ditargetkan 151 kantor cabang utama BNI di seluruh Indonesia akan menyusul.

General Manager BNI Syariah Suhardi beberapa pekan lalu menjelaskan, untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan syariah, diluncurkan pula BNI Syariah Card. Kartu ini memungkinkan nasabah syariah menggunakan seluruh delivery channel yang dipunyai BNI, seluruh ATM BNI, ATM Link, ATM Bersama, dan jaringan ATM Cirrus International di seluruh dunia.

Hasil penelitian dan permodelan potensi serta preferensi masyarakat terhadap bank syariah yang dilakukan BI tahun lalu menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Namun, sebagian besar responden mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan inilah yang coba diatasi dengan office channeling.

Dana terhimpun juga akan meningkat terkait rencana pemerintah menyimpan biaya ibadah haji pada perbankan syariah. Dengan kuota 200.000 calon jemaah haji, jika masing-masing calon jemaah haji menyimpan Rp 20 juta, akan terhimpun dana Rp 4 triliun yang hanya dititipkan ke bank syariah selama sekitar empat bulan. Dana haji yang terhimpun dalam jumlah besar dalam waktu relatif pendek akan mendorong munculnya instrumen investasi syariah. Dana terhimpun itu bahkan cukup menarik bagi pebisnis keuangan global untuk meluncurkan produk investasi syariah.

Di sisi lain, suku bunga perbankan konvensional diperkirakan akan turun. Menurut Adiwarman, bagi hasil perbankan syariah yang saat ini berkisar 8-10 persen, membuat perbankan syariah cukup kompetitif terhadap bank konvensional. "Dengan selisih sekitar dua persen (dari tingkat bunga bank konvensional), orang masih tahan di bank syariah, tetapi lebih dari itu, iman bisa juga tergoda untuk pindah ke bank konvensional," kata Adiwarman menjelaskan pola perilaku nasabah yang tidak terlalu loyal syariah.

Berdasarkan analisis BI, tren meningkatnya suku bunga pada triwulan ketiga tahun 2005 juga sempat membuat perbankan syariah menghadapi risiko pengalihan dana (dari bank syariah ke bank konvensional). Diperkirakan lebih dari Rp 1 triliun dana nasabah dialihkan pada triwulan ketiga tahun lalu. Namun, kepercayaan deposan pada perbankan syariah terbukti dapat dipulihkan dengan pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai Rp 2,2 triliun pada akhir tahun. Kenaikan akumulasi dana pihak ketiga perbankan syariah merupakan peluang, sekaligus tantangan, karena tanpa pengelolaan yang tepat justru masalah akan datang.

Perbankan syariah sempat dituding "kurang gaul" dalam lingkungan pembiayaan karena sejumlah nasabah yang dianggap bermasalah pada bank konvensional justru memperoleh pembiayaan dari bank syariah. Akan tetapi, Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia Wahyu Dwi Agung meyakini, dengan sistem informasi biro kredit BI yang memuat data seluruh debitor, tudingan seperti itu tidak akan terjadi lagi.

Posisi rasio pembiayaan yang bermasalah (non-performing financings) pada perbankan syariah tercatat naik dari 2,82 persen pada Desember 2005 menjadi 4,27 persen Maret lalu. Rasio ini dinilai masih terkendali.

Kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan perbankan syariah dan ketersediaan produk investasi syariah tidak akan optimal tanpa promosi dan edukasi yang memadai tentang lembaga keuangan syariah. Amat dibutuhkan pula jaminan produk yang ditawarkan patuh terhadap prinsip syariah.

Peluang dan potensi perbankan syariah yang besar memang menuntut kerja keras untuk kemaslahatan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
Cheepa Zone's © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute